KEMAJEMUKAN DI INDONESIA DARI SEGI PENDEKATAN KONSENSUS
Arend
Lijphart membagi model demokrasi menjadi dua; Pertama, model “consensus”
kebalikan “Westminster” yang meminjam unsur-unsur model consensus
Lijphartdengan prinsip pembagian kekuasaan eksekutif dengan koalisi
besar, pemisahan kekuasaan baik formal maupun informal, bicameralism yang
seimbang antara house representative (DPR) dengan dengan senator (DPD) punya
fungsi legislatif yang seimbang, dan perwakilan minoritas system multi partai,
system multi partai, system partai multidimensi perwakilan proporsional,
federalism dan desentralisasi territorial dan non-teritorial, konstitusi
tertulis dan veto minoritas.Sementara model Westminster, yang terdiri dari
Sembilan prinsip. Kosentrasi kekuasaan berada ditangan eksekutif, fusi
kekuasaaan dan dominasi kabinet, bicaralisme asimetris, system dua partai,
system partai berdemensi tunggal, system pemilu yang pluralitas, pemerintah
unitariat terpusat, konstitusi tidak tertulis dan kedaulatan berada pada tangan
parlemen, demokrasi perwakilan seutuhnya.
Kemampuan
negara diukur dari kemampuannya memaksakan aturan agar ditaati oleh
penduduknya. Kemampuan negara adalah membangun negara nasional, semangat
kebangsaan dengan cara kemerdekaan nasional, integrasi nasional dan “nation
building”, government menjadi governance, kekuatan politik, politik
mempengaruhi political influence dan politik manipulasi. Inggris- model
Westminster, tidak pernah mengunakan referendum. Hanya pernah sekali ketika
menentukan masuk kedalam masyarakat ekonomi Eropa. Sementara New Zealand (lebih
murni) sering mengunakan mekanisme referendum, itu sebabnya mekanisme lijphart,
tidak ada hubungan antara model majoritarian dan consensus dengan mekanisme
demokrasi langsung (referendum).
Prinsip
Model Demokrasi Konsensus: Koalisi Besar
Partai-Partai
yang capres dan cawapresnya yang kalah akan menjadi partai-partai oposisi,
otomatis partai yang menang akan menjadi partai pendukung pemerintah, penulis
melihat koalisi dalam sistem presidensial tidak ada, yang ada hanya
persekongkolan politik yang terjadi. Koalisi ini yang kemudian mendorong “check
and balance” antara parlemen dan pemerintah, juga koalisi ternyata pada masa
presiden SBY- Boediono, koalisi tidak memuluskan kerja pemerintah, sehingga
agar pemerintah stabil lahirlah kemudian Sekgab (sekretariat gabungan) ini sama
tujuannya ketika Soekarno membentuk Dewan Nasional untuk instabilitas politik
yang tidak hanya sekarang saja model–model ini terjadi. Lalu bagaimana
masa depan koalisi dalam situasi politik seperti ini? Paling tidak hampir
dapat dipastikan, ada empat hal yang telah terbukti terjadi pada babak politik
sebelumnya, baik dimasa SBY-Kalla, maupun dimasa SBY-Boediono, tentu ini akan
kembali lagi sampai masa periode jabatannya habis setengah tahun sisa.
Pertama,
tingginya kompromi politik atau politik dagang sapi, dalam proses perombakan
kabinet. Kedua, dukungan koalisi
pendukung pemerintah di DPR akan tetap tidak efektif, koalisi partai
pendukung pmerintah di parlemen amat rapuh dan mudah retak, Partai besar
menurut forecasting penulis tidak akan berani SBY mengeluarkan dari koalisi,
akan tetapi partai kecil yang berpeluang besar akan dikeluarkan dari koalisi. Ketiga, hak angket dan ancaman
penarikan dukungan akan selalu menjadi alat oleh partai-partai di DPR
untuk melakukan lobi-lobi politik. Meskipun demikian ,perbedaan politik
antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir dengan proses
politik transaksional. Koalisi politik, bagi saya laksana pernikahan.
Landasanya adalah kesetiaan, karena itulah, berdasarkan memorandum Of
Understanding dan code of conduct, kesetiaan yang bersifat menyeluruh, tak
dapat dipisah-pisah, pandangan terhadap sesuatu yang memutuskan dan menunjukkan
sikapnya di khalayak ramai, maka tidak ada perbantahan yang berlaku keputusan
yang berdasarkan kepada kesetiaan.
Prinsip
Sistem Multi Partai
Perlunya
mendorong penyederhanaan kepartaian “Parliamentary Threshold” di Republik ini.
Partai-Partai yang sudah mengelompok dalam satu barisan yang diikat dalam
sebuah idiologi diharapkan pada waktunya melakukan pengabungan, dalam hitungan
waktu ini akan mendorong penyederhanaan partai, kita belum bisa menjelaskan
berapa partai yang ideal untuk Indonesia yang luas ini, karena secara emperik
kita sudah mencoba 10 Partai, 3 Partai, bahkan 40 Partai, itu tergantung hasil
electoral Threshold . Keempat, menimalisirkan penyebab konflik, sebab
tidak ada jarak antara waktu pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Kelima,
menghemat biaya pemilu. Penyederhanaan parpol melalui Parliamentary Threshold akan
membawa implikasi pada beberapa hal. Pertama, menyebabkan suara pemilih akan
terbuang sia-sia. Berdasarkan data, penerapan PT 2,5 persen pada pemilu 2009
menyebabkan sekitar 18 juta suara terbuang, bila dilakukan PT 5 persen, bisa
jadi sekitar 36 juta suara akan hilang pada pemilu 2014. Kedua, PT 5 peren akan
menghilangkan partai-partai kecil, penerapan PT 5 persen beberapa parpol akan
berpeluang tersingkir dari senayan pada pemilu 2014, seperti PPP, PKB,
Gerindra dan Hanura, menengok pangsa pasar PPP dan PKB adalah pemilih berbasis
massa Islam tradisional (NU) secara realitas PPP dan PKB berdasarkan hasil
perolehan suara pemilu 2009 merosot tajam. Ketiga, PT 5 persen membuka
kemungkinan terjadinya oligarki dan kartelisasi, bila semakin sedikit partai
yang lolos di parlemen, bisa menyebabkan hubungan yang tidak sehat antara
parlemen dengan pemerintah (check and Balance) ini juga pernah terjadi pada
masa demokrasi parlementer pada massa Soekarno, terciptannya instabilitas
politik.
Pemberlakuan
electoral threshold (ET) 2,5% juga dimaksudkan untuk mempercepat penyederhanaan
kepartaian. Kemudian dilanjutkan dengan parliamentary threshold (PT) 2,5% pada
pemilu 2009. ET dan PT itu tidak dapat bekerja efektif mengurangi jumlah
partai pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009, karena partai politik di Indonesia
masih berwawasan sempit, lebih senang berebut kekuasaan politik dari pada
membangun sistem yang baik. Parliamentary Threshold, hendaknya mampu memperkuat
bentuk sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Penulis membahasakan suatu
sikap arogansi kebebasan dalam politik, bila terjerembab dalam kebebasan
“kebablasan” bisa membahayakan transisi demokrasi dan semakin menyuburkan
pragmatisme ditubuh partai politik.
Prinsip
Bicaralisme Yang Seimbang
Indonesia
sistem bicameralnya tidak seimbang implikasi dari kekuatan house representative
(DPR) lebih kuat dari Senator (DPD), fungsi “chec and balance” yang tidak
seimbang antara kamar satu dengan kamar kedua. kombinasi ganjil antara
kewenangan terbatas dan legitimasi tinggi seperti pada DPD, tidak ditemukan di
tempat lain di permukaan bumi. Setelah UUD 1945 diamandemen Indonesia mengalami
perubahan yang signifikan, dari sistem unikameral (satu kamar) menjadi sistem
bicameral (dua kamar). DPR bukan lagi satu-satunya lembaga legslatif. Telah
muncul kamar kedua yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan
pedanan senat.
Tapi, benarkah Indonesia telah menerapkan sistem
bicameral? Pertanyaan ini menguntit, hingga bertahun-tahun setelah amandemen konstitusi
rampung pada tahun 2002 lalu. Sebab peran DPD dalam soal legislasi lemah
belaka.
Lazimnya dalam sistem bicameral, parlemen terdiri
dari majelis rendah (lower chamber) dan majelis tinggi (upper chamber).
Majelis rendah biasanya perwakilan rakyat secara nasional atau federal,
sedangkan majelis tinggi merupakan perwakilan propinsi atau negara bagian.
Sebuah RUU, kerap melewati kedua kamar yang berbeda basis konsistensi ini,
sebelum diberlakukan, ditolak veto atau ditunda. Karena peran DPD lemah, banyak sindiran terhadap
bicameral di Indonesia, ada yang menyebut bicameral setengah hati, bicameral
yang terlalu lunak (too soft bicameralsm), bicameral semu (pseudo bicameral),
bicameral lemah (weak bicameralsm), dan bicameral setengah banci.
Dari
segi kelembagaan ada yang menilai sistem keparlemenan cendrung soft bicameral.
Sementara dari sisi fungsional tetap unikameral, karena fungsi legislasi hanya
dimiliki oleh DPR. Konstitusi memberikan tiga fungsi kepada DPR, fungsi DPR
adalah legislasi, pengawasan dan anggaran. Sedangkan fungsi DPD adalah
legislasi, pengawasan dan pertimbangan. Namun jika konstitusi memberikan tiga
fungsi itu secara full kepada DPR, dan DPD hanya diberi fungsi yang terbatas. Kenyataan
lemahnya kewenangan anggota DPD ini, kian ironis yang rata-rata lebih besar
dibandingkan dengan anggota DPR. Anggota DPR masih dipilih secara proporsional
terbuka, sedangkan Anggota DPD telah dipilih dalam sistem distrik, medan atau
daerah pertarungan DPD lebih luas, yaitu Propinsi. Sedangkan daerah pemilihan
anggota DPR adalah bagian-bagian propinsi.
Banyak kritik yang disampaikan pakar dalam maupun
luar negeri, terhadap bicameral ala Indonesia. Salah satunya Stephen Sherlock,
peneliti dari Australian National Universitiy, ” DPD adalah contoh yang tidak
lazim dari kamar kedua, karena mempresentasikan kombinasi yang ganjil, antara
kewenangan yang terbatas dengan legitimasi yang tinggi, kombinasi seperti ini
tidak ditemukan ditempat lain di dunia ini. Sudah semestinya Indonesia menuju
Strong bicameral yang murni, persoalannya kemudian maukah DPR berbagi kuasa
dengan DPD?
Prinsip Veto Minoritas
Lebih
jauh Lijphart menjelaskan, mengenai definisi demokrasi tentang pemerintahan
oleh mayoritas rakyat. Argumennya adalah mayoritas harus berkuasa dan minoritas
menjadi oposisi. Oleh Lijphart, pandangan seperti inilah yang kemudian
ditentang oleh Model Konsensus di dalam demokrasi. Model Konsensus melihat
bahwa pola pemerintah-oposisi adalah tidak demokratis karena bersifat
eksklusif.
Model Konsensus oleh Arthur Lewis melihat bahwa
demokrasi adalah “segala yang terkena imbas keputusan harus memiliki peluang
untuk berpartisipasi di dalam membuat keputusan baik secara langsung maupun
melalui wakil yang terpilih’. Jika partai pemenang berhak atas segala keputusan
pemerintah dan yang kalah hanya mengkritik namun tidak memerintah maka menurut
Lewis kedua hal tersebut tidaklah setara. Baginya, mengeluarkan kelompok yang
kalah untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan jelas melanggar makna
demokrasi. Model Konsensus dalam demokrasi kemudian dilihat dapat bekerja dalam
masyarakat yang plural, di mana dibutuhkan tatanan demokrasi yang menekankan
konsensus dibandingkan oposisi.
Implikasi Teori
Dalam
konteks sistem parlementer dan presidensial, Lijphart menyatakan bahwa
perbedaan-perbedaannya harus dipertegas sehingga bisa ditarik garis diantara
keduanya. Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemegang tunggal kekuasaan
eksekutif sementara dalam sistem parlementer, posisi perdana menteri nyaris
sama dengan menteri-menteri lain diukur dari tingkat kebersamaan dalam
pengambilan keputusan.
Hal ini berbeda dengan anggota kabinet presidensial
yang lebih merupakan penasihat atau bawahan presiden. Atas dasar itulah
Lijphart menyimpulkan bahwa sistem presidensial bersifat inferior dibandingkan
sistem parlementer, terlepas apakah presiden kuat atau lemah. Sistem
presidensial juga cenderung terlalu mengikuti model mayoritas sementara model
mayoritas sendiri tidak bisa diganti oleh konsensus tetapi oleh konflik, frustrasi
dan jalan buntu.
Perbedaan
terpenting antara model demokrasi Westminster (mayoritas) dan model demokrasi
konsensus mengenai luas partisipasi pemerintah, khususnya pihak eksekutif,
dengan representatif rakyat. Model demokrasi Westminster terkonsentrasi pada
kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan didukung relatif kecil mayoritas
parlemen, dimana model konsensus mendukung koalisi besar dimana semua partai
politik yg signifikan dan perwakilan kelompok utama dalam komunitas berbagi
kekuasan eksekutif. Pemerintahan mayoritas nyata dan koalisi agung adalah tipe
ideal tetapi dalam prakteknya berbagai bentuk lanjutan dapat ditemukan, seperti
sebesar tetapi tidak koalisi agung (grand coalition) dan kabinet minoritas.
Subtansi
yang mendasar terkait dengan demokrasi konsensus yaitu Perbedaan kedua antara
model demokrasi Westminster dan konsensus berkaitan dengan hubungan antara
eksekutif dan legeslatif dalam pemerintahan. Model konsensus berkarakteristik
hubungan yang lebih berimbang eksekutif-legeslatif, dimana tidak terjadi
dominasi eksekutif yang lebih kuat dibandingkan dengan legislatif. Dalam
kehidupan politik sebenarnya, keanekaragaman pola antar perimbangan sempurna
dan ketidakseimbangan seringkali terjadi. Suatu yang masuk akal mengenai
argumen bahwa demokrasi dan majority rule tidak berkonflik karena kehadiran
kondisi kedua: fakta bahwa Inggris dan New Zealand relatif masyarakat homongen
dan partai utama mereka selalu tidak jauh terpisah dalam pandangan kebijakan
mereka karena mereka cenderung tetap dekat dengan pusat politik. Satu partai
terpisah dari kekuasaan yang mungkin tidak demokrasi bagian dari kriteria
”pemerintahan oleh rakyat”, tetapi jika kepentingan pemilih dan pilihan
mempunyai alasan baik melayani kebijakan partai lain dalam pemerintahan, kurang
lebih sistem ”pemerintahan untuk rakyat” mendefinisikan demokrasi.
Dalam
masyarakat plural, walaupun, majority rule berarti kedidaktoran mayoritas dan
perselisihan sipil dari pada demokrasi. Apa masyarakat ini membutuhkan rejim
demokrasi menekankan konsensus daripada oposisi, termasuk daripada meniadakan
konsensus dan mencoba memaksimalkan ukuran aturan mayoritas daripada memuaskan
dengan mayoritas nyata demokrasi konsensus.
MANAKAH
YANG TERBAIK DI INDONESIA?
Dari
pandangan mayoritas definisi dasar demokrasi berarti “pemerintahan oleh
mayoritas orang ( the majority of the people). Mempunyai argumen bahwa
mayoritas seharusnya memerintah dan minoritas seharusnya menjadi oposisi.
Pandangan ini ditentang oleh model demokrasi konsensus. Menurut Robert Dahl
mengatakan majority rule dan pemerintahan melawan pola pemerintahan oposisi
mengakibatkan pandangan tidak demokrasi karena adanya prinsip menghilangkan
(principles of exclusion).
Dahl,
mengatakan bahwa arti utama demokrasi adalah bahwa “semua yang mempengaruhi
sebuah keputusan seharusnya diberikan kesempatan partisipasi dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung atau melalui representatif yang terpilih.
Maksud kedua kehendak mayoritas dapat berlaku. Jika dalam maksud ini partai
pemenang boleh membuat semua keputusan pemerintahan dan pihak yang kalah
mengkritisi tetapi tidak memerintah, Lewis berargumen dua arti tidak cocok :
“meniadakan kelompok yang kalah dari partisipasi pembuatan keputusan
jelas-jelas melanggar arti pentingya demokrasi.
Secara
gamblang Lijphart mengatakan bahwa demokrasi Model Westminster atau mayoritas
Consensus adalah lebih baik dalam memerintah, sementara Model Konsensus
adalah lebih baik dalam mewakili, khususnya mewakili kelompok dan kepentingan
minoritas secara insklusif. Model Konsensus merupakan model yang lebih baik
dalam demokrasi karena kualitas yang dimilikinya dimana ada upaya terhadap
negara kesejahteraan, perhatian terhadap lingkungan, lebih sedikit orang yang
dipenjara dan dihukum mati. Model konsensus dalam negara berkembang menurut
Lijphart juga lebih bijak dalam perspektif bantuan ekonomi.
Jika
kita merujuk apa yang diungkapkan oleh Lijphart tentunya ada
keberatan-keberatan tersendiri mengingat pertama, apa yang dipotret Lijphart
melalui penelitiannya menunjukkan bahwa selain setiap model memiliki deviasi
tersendiri. Dari setiap deviasi yang terjadi, negara-negara yang ada juga
memperlihatkan karakteristik masing-masing berdasarkan perjalanan sejarah,
kondisi sosial ekonomi dan situasi politik yang berlangsung. Demikian halnya
dengan Indonesia, tidak mudah dikatakan bahwa apa yang ideal menurut Lijphart
akan cocok pula untuk Indonesia.
Keberatan
kedua adalah, dalam kasus Indonesia justru sistem parlementarian dengan banyak
partai menimbulkan masalah dibandingkan apa yang dibayangkan oleh hasil
penelitian Lijphart bahwa sistem parlementarian lebih baik daripada sistem
presidensial. Hal ini menegaskan kembali bahwa kondisi dan situasi
obyektif sebuah negara tidak dapat digeneralisasi oleh kategori yang dilakukan
dalam sebuah penelitian yang cenderung bersifat komparatif. Sistem
presidensial dalam model konsensus mungkin bisa jadi adalah kombinasi
yang terbaik berupa kekuasaan dalam satu tangan namun sekaligus juga merupakan
representasi dari kehendak rakyat.
Keberatan
ketiga adalah, mungkin tawaran Lijphart hendaknya berhenti pada pernyataan
bahwa model Westminster adalah baik untuk memerintah dan model konsensus adalah
tepat untuk mewakili, tanpa harus menarik kesimpulan lebih jauh dan bersifat
derivatif terhadap negara-negara yang menjadi subyek penelitiannya. Hal ini
menjadi sebuah pembatasan yang perlu karena kembali lagi bahwa tidak ada negara
yang dapat dinyatakan secara komparatif berbanding bahkan menjadi bentuk ideal
dari sebuah model demokrasi.
SUMBER
Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian
and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press,
New Haven and London, 1984, hlm. 9-20.
Lijphart, Arend,1984. Democracies: Patterns of
Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One
Contries (New Haven Conn., Yale university Press)
Lijphart, Arend, 1995, Electoral System, In
Seymour Martin Lipset, Encyclopedia Democracy (Washington D.C.,
Congressional Quarterly).
Huntington, Samuel P., Political Order In
Changing Societies (Yale University Press, 1968)
John Locke dalam The Second Treatise
Goverment
Satya Arinanto, Beberapa pengikut paham bahwa hukum
adalah kekuasaan (menurut catatan Van Apeldron) dalam Politik Hukum:
Kumpulan Materi Transparansi. Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca
Sarjana
Arend Lijphart,Democracies: Pattern of
Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One Centuries, New Haven
and London: Yale University Press, 1984, hal. 2.
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para
Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992,
Lipson, The Democratic Civilization, New
York: Feiffer and Simons, 1964, hal. 240.
Comments
Post a Comment