Struktur masyarakat
Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu:
- Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
- Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut
sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah
yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk
sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep
Furnivall tersebut. Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall,
merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands
India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967,
halaman 446-469).
Istilah plural atau majemuk sebenarnya berbeda dengan pengertian
heterogen. Majemuk atau plural itu merupakan lawan dari kata singular atau tunggal.
Sehingga, masyarakat plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan masyarakat yang mendukung satu sistem
kebudayaan yang sama, sedangkan pada masyarakat plural, di dalamnya
terdapat lebih dari satu kelompok baik etnik maupun sosial yang menganut sistem kebudayaan (subkultur) berbeda satu dengan yang lain. Sebuah
masyarakat kota, mungkin tepat disebut sebagai masyarakat heterogen,sepanjang
meskipun mereka berasal dari latar belakang SARA (sukubangsa,agama, ras, atau pun aliran/golongan-golongan) yang berbeda, tetapimereka
tidak mengelompok berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut homogen. Disebut homogen kalau anggota
masyarakat berasal dari SARA yang secara relatif sama. Disebut heterogen kalau
berasal dari SARA yang saling berbeda, namun sekali lagi merekatidak mengelompok (tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut (budiono
kusumohamidjoyo (2004), dalam Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia,
Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Grasindo, hal 45).
Sebagai suatu
masyarakat majemuk, Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe
masyarakat tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas merupakan penguasa
yang memerintah bagian amat besar orang-orang Indonesia pribumi yang menjadi golongan kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan keturunan tionghoa,sebagai
golongan terbesar di antara orang-orang keturunan timur asing lainnya,menempati
kedudukan di antara kedua golongan tersebut.
Faktor yang
menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan
geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima
pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan
penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku
jenis tersendiri.
b. Letak
Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua
Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas
perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c. Iklim
yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa, ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
A. PRIMORDIAL
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
B. STEREOTIP ETNIK
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
C. POTENSI KONFLIK
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka
Pengertian Konflik menurut Robbins, Konflik adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif atau akan segera memengaruhi secara negatif pihak lain. Menurut Alabaness, Pengertian Konflik adalah kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain.
Penyebab konflik sosial
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Secara umum faktor penyebab konflik meliputi :
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaanyang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,ekonomi, sosial, dan budaya.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Dari penjelasan diatas, konflik pada masyarakat majemuk Indonesia ditemukan sifat yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Pencegahan konflik
Pencegahan sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, yaitu dengan upaya sebagai berikut :
a. Memelihara kondisi damai di masyarakat; dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing; menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit; mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar bhinneka tunggal ika; dan/atau tidak memaksakan kehendak dan menghargai kebebasan orang lain.
b. Mengutamakan penyelesaian perselisihan secara damai; yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih melalui mekanisme adat, mekanisme agama atau penyelesaian berdasarkan musyawarah mufakat.
c. Meredam potensi konflik; hal ini dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang sensitif konflik, menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, melakukan program-program perdamaian di daerah potensi konflik, mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal.
d. Mengembangkan sistem peringatan dini; dengan penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi konflik atau konflik yang terjadi di daerah lain. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem peringatan dini melalui media komunikasi dan informasi.
Penghentian Konflik
Penghentian konflik dilakukan melalui:
a. Penghentian kekerasan fisik; dilakukan dibawah koordinasi dari POLRI. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat.
b. Penetapan Status Keadaan Konflik; Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila konflik tidak dapat dihentikan oleh POLRI dan tidak berjalan fungsi Pemerintahan.
c. Tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban,
d. Bantuan pengerahan sumber daya TNI.
Pemulihan Pasca Konflik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan upaya pemulihan pasca konflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.
Upaya pemulihan pasca konflik meliputi :
A. Rekonsiliasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:
a. perundingan secara damai;
b. pemberian restitusi ; dan/atau
c. pemaafan.
Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan pranata adat atau KPKS
B. Rehabilitasi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi di daerah pasca konflik dan daerah terkena dampak konflik bertanggung jawab melakukan:
a. pemulihan psikologis korban konflik dan perlindungan kelompok rentan;
b. pemulihan sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan serta ketertiban;
c. perbaikan dan pengembangan lingkungan/daerah perdamaian;
d. mendorong terciptanya relasi sosial yang adil bagi kesejahteraan masyarakat berkaitan langsung dengan hak-hak dasar masyarakat;
e. penguatan terciptanya kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan/daerah perdamaian berbasiskan hak-hak masyarakat;
f. pemulihan ekonomi, pemulihan hak-hak keperdataan, dan peningkatan pelayanan pemerintahan.
g. pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok difabel;
h. pemenuhan kebutuhan dan pelayanan peningkatan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan dan anak; dan
i. fasilitasi dan mediasi pengembaliaan dan pemulihan aset korban konflik sosial.
C. Rekonstruksi.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan rekonstruksi bertanggung jawab melakukan:
a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan/daerah perdamaian;
b. pemulihan akses pendidikan, kesehatan, serta mata pencaharian;
c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah konflik;
d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e. pemberdayaan masyarakat menuju percepatan proses rekonstruksi.
f. penyediaan dan optimalisasi fasilitas dan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia dan kelompok difabel;
g. penyediaan dan optimalisasi fasilitas dan pelayanan untuk peningkatan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan dan anak; dan
h. pemeliharaan dan pemulihan tempat ibadah.
Peran Masyarakat
Masyarakat dapat berperan serta dalam penanganan konflik. Peran serta masyarakat dapat melibat masyarakat internasional yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri, gubernur, bupati/walikota, dan pejabat lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan peran serta, masyarakat
internasional berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam penanganan konflik diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peran serta masyarakat dapat berupa:
a. pembiayaan; yaitu pembiayaan yang bersumberkan dari masyarakat yang dilakukan dengan mekanisme khusus.
b. bantuan teknis;
c. penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konflik; dan/atau
d. bantuan tenaga dan pikiran.
CONTOH KONFLIK DI INDONESIA
1. KONFLIK SOSIAL KASUS TEGAL DAN CILACAP
Konflik dapat bersifat tertutup
(latent), dapat pula bersifat terbuka (manifest). Konflik berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat. Hanya saja, terdapat katup-katup sosialyang
dapat menangkal konflik secara dini, sehingga tidak berkembang meluas. Namun
ada pula faktor-faktor di dalam masyarakat yang mudah menyulut konflik menjadi berkobarsedemikian
besar, sehingga memporak-porandakan rumah, harta benda lain dan
mungkin juga penghuni sistem sosial tersebut secara keseluruhan.Dalam
suasana sistem sosial masyarakat Indonesia yang sangat rentan
terhadap berbagai gejolak ini,sedikit pemicu saja sudah cukup menyebabkan berbagai konflik sosial. Konflik antardesa
di Tegal (Senin, 10 Juli 2000) dan konflik antar kampung di Cilacap (Kamis, 6
Juli 2000) hanyalah merupakan contoh betapa hal-hal yang bersifat sangat
sederhana ternyata dapatmenjadi penyulut timbulnya amuk dan kerusuhan massa
yang melibatkan bukan hanya pihak- pihak yang bertikai, melainkan
juga seluruh desa.Desa-desa dan kampung-kampung di JawaTengah yang sudah
sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun hidup dalam keharmonisan antar
tetangga dan antar desa tersebut dapat berubah total menjadi saling serang dan saling menghancurkan rumah warga desa lain yangdianggap
musuhnya. Pemerintah sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban dalammasyarakat
sangat berperan penting dalam menciptakan suasana harmonis antar berbagaikelompok
dalam masyarakat. Namun,bila pengendalian sosial oleh pemerintah melalui perangkat-perangkathukumnya
tidakberjalan, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul
dalammasyarakat.Sebagaimana berbagai kerusuhan massal yang pernah terjadi
sebelumnya, pemicu-pemicu tersebut bukanlah penyebab utama. Ini hanyalah
casus belli yang memunculkan konflikterpendam yang berakumulasi secara
bertahap. Penyebab utamanya mungkin baru dapatdiketahui setelahsuatu kajian
yang seksama dilakukan dalam kurun waktu tertentu.Dalam kaitan inilah,
kajian singkat ini ingin diletakkan. Kajian yang ditulis dalamlaporan
ini,mungkin saja mengalami perubahan dengan berlangsungnya waktu, yaitu dengan
semakindiketahuinya faktor-faktor lokal (indigenious factors). Meskipun
demikian, laporan initetap didasarkan atas data sekunder terbatas dengan
pendekatan yang kritis.Tujuan utama dari kajian singkat ini adalah untuk
mengidentifikasi konflik, mencari faktor pendorong, pemicu dan penyebab
terjadinya konflik yang dampaknya sangatmerugikan,serta sebagai basis
pembuatan peta daerah rawan konflik . Metode Pendekatan Data
yang digunakan sebagai dasar analisis adalah menggunakan data sekunder dan
berbagai berita dari berbagai sumber media massa. Meskipun demikian, diupayakan dengan mencermati faktor-faktor setempat
yang lebih dominan sebagai penyebab utama (prima causa).
2. KONFLIK INDONESIA VS MALAYSIA
Terdengar suatu yang
biasa namun sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia pasti dapat merasakan suatu pemicu perang dingin yang dibuat oleh
Indonesia, semua
berasal dari Malaysia. Mulai
dari perebutan ambalat, malaysia
mengklaim kesenian
reog ponorogo sebagai
kesenian asli malaysia, malaysia memasukkan
tari pendet dalam iklan pariwisatanya, penganiayaan dan pembunuhan
TKI, kasus manohara, dan pencurian sumberdaya alam
baik itu pulau maupun lautan merupakan penyebab konflik kedua negara ini. Penghadangan
dinas kelautan yang baru kali ini terjadipun telah membuat panas hubungankedua
negara, ditambah lagi pelemparan kotoran manusia ke gedung Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia. Itulah
sebagian kecil contoh konflik antara Indonesia dan Malaysia, seharusnya kita
sebagai warga negara Indonesia juga harus menjaga dan melestarikan kebudayaan
negeri sendiri bila kita tidak ingin kebudayaan kita diambil oleh negara lain.
Dan seharusnya juga pemerintah harus turut adil dan tanggung jawab dalam
menangani masalah ini agar masalah ini tidak berlanjut hingga anak cucu kita
nanti.
3.
KONFLIK FREEPORT
KONFLIK
berkepanjangan perusahaan tambang PT Freeport di Timika, Papua, terus
berlanjut. Aksi protes yang awalnya dilakukan mahasiswa dan aktivis Papua, kini
berkembang melibatkan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Majelis Rakyat Papua
(MRP) dan organisasi sipil lainnya. Tentunya kita prihatin meliha! t konflik
yang terus terjadi di Papua, hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa dari
masyarakat sipil dan anggota TNI dan Polri, akibat bentrokan fisik.
Kini
aksi demonstrasi sudah pada tahap tuntutan penutupan PT Freeport. Padahal,
sebelumnya masyarakat hanya menuntut perlu dilakukan negosiasi ulang, yakni
perbaikan kontrak karya yang lebih adil dan menguntungkan bagi masyarakat
Papua. Bila saja konflik itu dibiarkan berlangsung, maka akan mempersulit
posisi pemerintah dalam menyelesaikan konflik PT Freeport dan masyarakat Papua.
Seharusnya
pihak pemerintah memberikan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Di
satu sisi harus mengakomodasi keinginan masyarakat Papua yang semakin hari
menunjukkan intensitas demonstrasinya. Yang secara emosional dan psikologis
rakyat Papua yang mudah tersulut, jika dibangki! tkan dengan isu-isu
ketidakadilan yang akan menjadi persoalan pelik dalam menyelesaikan konflik di
Freeport. Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada pilihan bagaimana
menyelamatkan sumber-sumber dana yang dihasilkan dari perusahaan tambang
tersebut dan menyelamatkan karyawan PT Freeport.
Dalam
empat tahun terakhir, sumbangan dari sektor tambang terhadap APBN tercatat
rata-rata sekitar Rp 1,8 triliun. Dua pilihan inilah yang kini dihadapi
pemerintah. Jika saja salah melangkah, konflik di Freeport bukan tidak mungkin
akan menambah lagi eskalasi tindak kekerasan dan membangkitan
persoalan-persoalan yang sebelumnya sudah disuarakan masyarakat Papua, yakni
pelanggaran HAM, tuntutan merdeka, dan masalah sosial politik lainnya. Dari hal
ini tampaknya pemerintah memang tidak belajar dari konflik kerusuhan warga Da!
yak Siang Murung Bakumbai melawan PT Indo Moro Kencana. Akibat, peraturan dan
kebijakannya yang tidak memihak rakyat kecil, perusahaan-perusahaan besar kerap
menelantarkan hak-hak mereka yang pada akhirnya menimbulkan anarkisme
berkepanjangan.
Hal
itu tidak jauh beda, dengan konflik-konflik di Timika, Papua. Bahkan mungkin
dapat muncul di daerah lain. Karena itu, pemerintah dan DPR harus cermat, jeli,
dan pandai-pandai memadukan antara kepentingan investasi (economic interest)
dan pelayanan keberlangsungan pengelolaan sumber daya alam yang menghargai
kearifan lokal dan keadilan bagi semua kelompok. Secara sosiologis, diperlukan
sebuah undang-undang yang menjamin adanya keteraturan sosial (social order)
dalam jangka panjang dan mencerminkan keadilan bagi semua pihak.
Pada
awalnya, jika permasalahan! di Freeport adalah program pengembangan masyarakat
maka masalah itu harus dibicarakan dengan benar, apakah dana yang menjadi kompensasi
sudah didistribusikan dengan merata, atau sudah didistribusikan tapi tidak
tepat penyalurannya. Jika kasusnya adalah konflik Freeport dengan penambang
tanpa izin, maka harus dilihat undang-undang atau peraturan yang ada, sebab
penambangan tanpa izin bukan hanya ada di Freeport, tapi juga di Kalimantan dan
tempat lainnya.
Dari berbagai masalah yang timbul di PT Freeport ini
setidaknya menunjukkan dua hal.
Pertama,
apa yang terjadi di Papua semakin menunjukkan bahwa memang terjadi masalah
besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Freeport adalah cermin
buruknya pengelolaan sumber daya alam atau dengan kata lain peraturan
perundang-undangan yang ada seka! rang memang belum menjamin penyelesaian
sengketa yang lahir akibat praktik pertambangan, misalnya kasus lingkungan, hak
atas tanah, dan kekerasan.
Kedua, banyaknya sengketa yang disebabkan oleh
praktik pertambangan memperlihatkan bahwa UU No.11/1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan memang sudah usang dan tidak dapat
dijadikan lagi sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa tambang,
mengingat situasi dan perkembangan kegiatan pertambangan terus bergerak secara
dinamis.
Menurut
mantan Ketua MPR Amien Rais, PT Freeport Indonesia harus ditutup dahulu seiring
banyaknya tuntutan dari warga Papua untuk menghentikan operasi perusahaan
tambang tersebut pasca konflik antara aparat keamanan perusahaan dengan
masyarakat setempat. Hal itu kita nilai sesuatu yang tepat. Ditutup sementara
untu! k menyelesaikan beragam masalah yang terpendam bagaikan sebuah bom waktu
yang siap meledak kapan saja. Solusinya tidak boleh setengah-setengah tapi
harus tegas!
Adalah
hak masyarakat di Papua untuk mengadukan siapa saja bila, melakukan pelanggaran
hukum, termasuk PT Freeport Indonesia yang dinilai semena-mena dalam
mengeksploitasi sumber daya alam berupa emas, perak, dan tembaga di Papua
sehingga lingkungan di sekitarnya rusak dan tercemar limbah. Dalam kaitan
gugatan penduduk Papua terhadap PT Freeport pun hendaknya pemerintah berpihak
pada elemen masyarakat setempat. Apalagi yang dilakukan penduduk lokal adalah
menambang emas dengan cara tradisional. Seharusnya kewajiban PT Freeport untuk
menyertakan penduduk lokal dalam bekerja secara legal dengan menunjukkan
komitmennya terhadap penanganan lingkungan secara benar dan berkelanjutan
sehingga semua pihak merasa kehadiran PT Freeport sebagai pahlawan. Bukan
sebagai musuh sehingga menimbulkan dendam kesumat sebagaimana yang terjadi
selama ini, yang akhirnya menimbulkan masalah nasional, bahkan internasional. Hal
itu bisa terjadi karena pimpinan PT Freeport hanya mengedepankan asas m!
anfaat, mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan dampak dan
kesengsaraan masyarakat di sekitarnya. Sikap itu timbul tidak lepas dari sikap
pemerintah yang lemah. Dengan demikian, PT Freeport akan serius menyelesaikan
masalahnya. Kalau tetap dibiarkan beroperasi jelas tidak akan membawa manfaat
bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sementara eksploitasi alam Papua
berlanjut terus.
Penutupan
PT Freeport bukan tanpa risiko. Investor asing bisa saja takut menanamkan
modalnya karena kondisi Indonesia dinilai tidak kondusif. Namun juga peringatan
buat investor asing untuk menghargai masyarakat dan bangsa Indonesia. Jika
kontrak baru dilakukan dan posisi Indonesia diuntungkan, begitu juga masyarakat
Papua, tentulah PT Freeport boleh beroperasi lagi. Tapi, kalau
"daging"-nya digondol ke Amerika, sementara "kotoran"-nya
ditinggal begitu saja, wajar kalau kita mendesak pemerintahan untuk bertin dak
cepat, tepat, dan tegas menutup sementara PT Freeport sebagai salah satu
lumbung emas terbesar di dunia.
SUMBER
Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia,
Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Grasindo, hal 45
www.suarapapua.com
Comments
Post a Comment